Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

60% Pengadaan Barang dan Jasa Terindikasi KKN

Minggu, 11 Juni 2023 | Minggu, Juni 11, 2023 WIB Last Updated 2023-06-11T11:27:52Z


MP Indonesia - Pusat Kajian dan Pengembangan Kebijakan Publik memperkirakan 60% dari proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah (Procurement) berjalan di atas praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). 


Menurut Harmawan Kaeni, Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan Kebijakan Publik, KKN itu terjadi merata di 25 tahapan proses pengadaan barang atau jasa, mulai dari penganggaran, perencanaan, sampai ke tahap pembayaran.


"Yang paling rawan ada di 10 tahap awal," tuturnya kepada Bisnis, belum lama ini. 


Akibatnya, lanjut dia, terjadi kebocoran anggaran yang besarnya berkisar 10%-30%, persis dengan pandangan almarhum Prof. Sumitro yang menyebutkan kebocoran dalam Procurement bisa mencapai lebih dari 30%.


Dengan kata lain, dari sekitar Rp.150 triliun rupiah anggaran pengadaan barang dan jasa Negara, lebih dari Rp.45 triliun tidak termanfaatkan dengan baik atau tak bisa dipertanggungjawabkan.


Harmawan menyebut faktor utama penyebab masih merebaknya praktik Korupsi di proyek Procurement karena buruknya mekanisme pengawasan. Banyak auditor Procurement yang tidak mau menaati peraturan.


Konsultan KPK (Komisi Pemberantasn Korupsi) ini mencontohkan banyaknya Lembaga pemeriksa di instansi pemerintahan, namun tidak juga mempan memberantas praktik korupsi di Indonesia.


"Kita sudah memiliki BPK, BPKP, Irjen, Bawasda. Tapi predikat sebagai Negara yang paling besar Korupsinya masih juga belum hilang," katanya. 


Selain itu, mereka juga belum memahami benar aturan Procurement yang ada sehingga tidak bisa melihat pelanggaran "halus" yang sering terjadi dalam proses procurement.


Mereka sering terhambat pada cara menemukan, menyelidiki, menyidik, serta membuktikan terjadinya Korupsi selama proses pengadaan barang/jasa.


"Banyak auditor yang kurang memahami betul seluk-beluk hukum yang ada," kritiknya.


Karena itu, lanjut dia, banyaknya Korupsi di Procurement ini lebih disebabkan oleh faktor aparat. Bukan pada peraturan atau peluang.


Dia menegaskan Keppres No. 80/2003 di mana dia menjadi anggota tim penyusunnya sudah cukup ketat mengatur proses pengadaan barang dan jasa di instansi Pemerintahan.


Untuk itu, pendiri Indonesia Procurement Institute ini meminta masyarakat untuk turut mengawasi pelaksanaan proyek-proyek Procurement di semua instansi Pemerintahan.


Dia menegaskan bahwa masyarakat berhak untuk mengakses proyek Procurement. "Umumnya jika ada praktik KKN dalam Procurement, mereka Aparat Pemerintah akan menolak keterlibatan masyarakat melihat dokumen yang ada dengan alasan rahasia Negara. Padahal, masyarakat berhak meminta", pungkasnya.


Sumber: Bisnis Indonesia

×
Berita Terbaru Update