Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

LPK-GPI Kecam Atas Kecerobohan Pihak RS Harapan Bunda

Minggu, 08 Mei 2022 | Minggu, Mei 08, 2022 WIB Last Updated 2022-05-08T13:55:13Z


MP Bandar Lampung - Direktorat Lembaga Perlindungan Konsumen Gerakan Perubahan Indonesia (LPK-GPI) menyanyangkan atas kecerobohan pihak dokter dan rumah sakit Harapan Bunda Lampung tengah pasien belum sehat sudah mau dipulangkan, Minggu (8/5/2022).


Menurut Muhammad Ali Ketua Umum LPK-GPI tentang bahwa pelayanan kesehatan lebih mengacu pada penyelenggaaraan kesehatan oleh kaum profesional, sedangkan konsumennya bersikap pasif, bahkan menggadaikan serta mempercayakan kesehatan mereka kepada kaum profesional termaksud.


Dalam fungsi sehari-hari, kaum profesional lebih diharapkan bertindak sebagai fasilitator penyelenggaraan dan pemeliharaan kesehatan masyarakat seperti halnya yaitu :


1. Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk di dalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan.


2. Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya merupakan satu profesi yang sangat mulia dan terhormat dalam pandangan masyarakat. Dokter dan tenaga medis sebelum melakukan praktek kedokterannya atau pelayanan medis telah melalui pendidikan dan pelatihan yang lama. Sehingga profesi ini (khususnya dokter) banyak sekali digantungkan harapan hidup dan/ atau kesembuhan dari pasien serta keluaarganya yang sedang menderita sakit.


3. Hubungan dokter dengan pasien pada dasarnya merupakan hubungan hukum keperdataan. Hubungan keperdataan adalah hubungan hukum yang dilakukan oleh pihak- pihak yang berada dalam kedudukan yang sederajat, setidak pada saat para pihak akan memasuki hubungan hukum tertentu.


Perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen didahului dengan adanya hubungan antara dokter dengan pasien.


Selain hubungan hukum antara dokter dengan pasien, sangat perlu diperhatikan bahwa peran rumah sakit dalam menerapkan perlindungan terhadap pasien, sangat penting dalam menunjang kesehatan masyarakat. Selain itu, rumah sakit harus memberikan perlindungan hukum terhadap pasiennya yang dalam hal ini betindak sebagai pihak pengguna jasa. 


Menurut Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK),bahwa pasien rumah sakit termasuk konsumen. Dimana dalam arti bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang, dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.


Secara umum pasien dilindungi oleh Undang- undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang- undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang- undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Secara normatif pasien harus diperlakukan sesuai dengan ketentuan - ketentuan di atas, pasien harus diperlakukan sebagai subyek yang mempunyai pengaruh besar atas hasil layanan, bukan sekedar obyek.


Berkaitan dengan hal tersebut, Rumah Sakit swasta yang didirikan oleh pihak Swasta (Yayasan) dalam praktiknya sering diduga tidak memberikan hak- hak pasien sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bahkan ada kecenderungan mereka mengabaikan hak- hak pasien. Jika hal ini terjadi langkah apa yang harus dilakukan oleh pasien untuk mendapatkan perlindungan hukum.


Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hak- hak dan kewajiban subyek hukum. Hukum pun berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subyek hukum. 


Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak- hak yang diberikan oleh hukum.


Sedangkan menurut Philipus M Hadjon, perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak–hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.

Perlindungan hukum berarti adanya pengakuan, kepatuhan serta adanya dukungan atas hak- hak segenap pribadi, segenap keluarga dan segenap kelompok, beserta aspek pelaksanaannya.


Menurut pasal 1 ayat 1 UUPK RI Nomor 8 tahun 1999 tentang  Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Perlindungan konsumen merupakan istilah yang digunkan untuk menggambarkan adanya hukum yang memberikan perlindungan kepada konsumen dari kerugian atas pemggunaan produk barang/ jasa.


Perlindungan konsumen punya cakupan yang sangat luas karena meliputi perlindungan terhadap segala kerugian akibat penggunaan barang dan atau jasa. Perlindungan perlu diberikan kepada konsumen sebab secara umum keberadaannya atau kedudukannya selalu lemah. 


Pasal 1 ayat (2) Undang UUPK, menyatakan bahwa: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sedangkan Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan konsumen, contohnya jasa pengacara, dokter, guru dan lain-lain. Jadi subyek yang disebut sebagai konsumen adalah setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan jasa”.


Pasien adalah seorang konsumen karena ia merupakan seorang pemakai jasa, yaitu jasa seorang dokter. Pasien sebagai konsumen dalam jasa pelayanan kesehatan dapat dikategorikan sebagai konsumen akhir, karena pasien tidak termasuk kedalam bagian dari produksi. Sifat konsumeristik dari pelayanan kesehatan tampak dari adanya pergeseran paradigma pelayanan kesehatan dari yang semula sosial berubah menjadi sifat komersial karena pasien harus mengeluarkan biaya cukup tinggi untuk upaya kesehatannya. 


Pasien memiliki hak-hak seperti yang diatur dalam Pasal 4 UUPK, yang menyatakan bahwa pasien berhak atas kenyamanan, hak keamanan, hak keselamatan, hak memilih, hak informasi, hak didengar, hak mendapatkan advokasi, hak atas pelayanan yang tidak diskriminatif, hak mendapatkan ganti rugi danhak yang diatur dalam perundang-undangan.


Pasal 52 Undang undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, menyebutkan hak pasien, yaitu mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis dan mendapatkan isi rekam medis.


Selain itu, Hak pasien juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 5, 6, 7, 8, 56 dan 58.


Pasal 5 ayat (1) bahwa “Setiap orang berhak akses atau sumber daya di bidang kesehatan”.


Pasal 5 ayat (2) bahwa “Setiap orang mempunyai hak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau”.


Pasal 5 ayat (3) bahwa: “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”.


Pasal 6 menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan”.


Sementara, Pasal 7 menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab”.


Pasal 8 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan”.


Pasal 56 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap”.


Pasal 58 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak menuntut ganti kerugian terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”.


Kewajiban pasien diatur dalam Pasal 53 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yaitu memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasehat dan petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan, memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.


Hak dokter diatur dalam Pasal 50 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik kedokteran, yaitu memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional,memberikan pelayanan, memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya dan menerima imbalan jasa.


Kewajiban dokter diatur lebih lanjut dalam Pasal 51 Undang Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yaitu “memberikan pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan standar profesi atau standar prosedur operasional serta kebutuhanmedis pasien, merujuk pasien ke dokter yang mempunyai keahlian atau kemampuan lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien meninggal dunia, melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, keecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya, menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran”.


Pasal 30 Undang Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit, mengatur hak rumah sakit, yaitu “menentukan jumlah, jenis dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi rumah sakit, menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan pelayanan, menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan perundang- undangan, menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian, mendapatkan perlindungan hukum dan melaksanakan pelayanan kesehatan, mempromosikan layanan kesehatan yang ada di rumah sakit sesuai dengan ketentuan perundang undangan, mendapatkan insentif pajak bagi rumah sakit publik dan rumah sakit ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan”.


Pasal 29 Undang undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit, mengatur kewajiban rumah sakit, yaitu “memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat, memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai standar pelayanan rumah sakit, memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya, berperan aktif dalam memberikan kesehatan pada bencana, sesuai dengan kemampuan pelayanannya. 


Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu dan miskin, melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulans gratis, pelayanan korban bencana alam dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusian, membuat, melaksanakan dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien, menyelenggarakan rekam medis, menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak, antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak- anak, lanjut usia, melaksanakan sistem rujukan, menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundangan undangan, memberikan informasi yang benar, jelas, jujur mengenai hak dan kewajiban pasien, menghormati, melindungi hak- hak pasien, melaksanakan etika rumah sakit, memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana, melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun nasional, membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran dan kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya, menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumh sakit, dan memberikan bantun hukum bagi semua petugas rumah sakit, melaksanakan tugas, memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok”.


Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas dapat diketahui bahwa hak dan kewajiban pasien, dokter, tenaga kesehatan dan rumah sakit telah diatur secara jelas. Termasuk dalam hal mengalami kerugian yang diakibatkan oleh tindakan pihak lain, mempunyai hak untuk menggugat.


Mengenai perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis telah dituangkan dalam UU kesehatan, antara lain dalam Pasal 58, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak menuntut ganti kerugian terhadap seseorang tenaga kesehatan, dan/ atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.


Tenaga kesehatan yang diberikan kepercayaan penuh oleh pasien, haruslah memperhatikan baik buruknya tindakan dan selalu berhati- hati di dalam melaksanakan tugas medis. Dalam peristiwa yang mengakibatkan kerugian terhadap seseorang, maka sudah tentu merupakan kewajiban dari pihak yang melakukan kesalahan untuk mengganti kerugian. Korban dari tindakan tersebut mengalami kerugian baik materil maupun moril sehingga sangat wajar kalau mereka yang dirugikan mendapat imbalan berupa ganti rugi dari pihak yang merugikan.


Mengenai perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis selain ketentuan yang diatur dalam UU Kesehatan, juga dapat didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata, yang isinya bahwa: “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut untuk menggantinya”.


Pemberian hak ganti rugi merupakan salah satu upaya dalam memberikan perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting mengingat akibat kelalaian atau kesalahan itu dapat mengakibatkan kematian atau menimbulkan cacat yang permanen. 


Yang dimaksud kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian non fisik berkaitan dengan martabat seseorang. Dalam UUPK tidak diatur dengan jelas mengenai pasien, tetapi pasien dalam hal ini juga merupakan konsumen. Jika seseorang sebagai konsumen melakukan hubungan hukum dengan pihak lain, dan pihak lain itu melanggar perjanjian yang disepakati bersama, maka konsumen berhak menggugat lawannya berdasarkan wanprestasi. 


Demikian juga dengan perjanjian antara pasien dengan tenaga kesehatan, maupun dengan rumah sakit, pada dasarnya merupakan hubungan keperdataan, yang apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati maka dapat digugat untuk membayar ganti kerugian yang timbul akibat kelalaian atau kesalahan.


Kesempatan untuk menggugat harus memenuhi 4 unsur, yaitu terjadi perbuatan melawan hukum, ada kesalahan ( yang dilakukan pihak lain atau tergugat), ada kerugian (yang diderita si penggugat), dan ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian itu.


Sumber Perundang-undangan: Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.(Tori)

×
Berita Terbaru Update