×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Gubernur Riau AW, Ditetapkan KPK Sebagai Tersangka Kasus Dugaan Tipikor Pada Proyek Dinas PUPR PKPP

Sabtu, 08 November 2025 | Sabtu, November 08, 2025 WIB Last Updated 2025-11-07T20:28:51Z


MP Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid (AW) sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi. AW disangkakan melakukan pemerasan terkait penambahan anggaran pada proyek Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau.


Selain AW, KPK juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka: M. Arief Setiawan (MAS), Kepala Dinas PUPR PKPP Riau, dan Dani M. Nursalam (DAN), Tenaga Ahli Gubernur Riau.


Para tersangka dikenakan Pasal 12 huruf e dan/atau f atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.


Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, dalam konferensi pers pada Rabu (5/11), menjelaskan bahwa kasus ini bermula pada Mei 2025. Saat itu, terjadi pertemuan di Pekanbaru antara Ferry Yunanda (FRY), selaku Sekretaris Dinas PUPR PKPP, dengan enam Kepala UPT Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP.


Pertemuan tersebut membahas kesanggupan pemberian fee kepada Gubernur Abdul Wahid (AW) atas penambahan alokasi anggaran tahun 2025. Anggaran UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP, yang semula Rp71,6 miliar, ditingkatkan menjadi Rp177,4 miliar (kenaikan Rp106 miliar).


Setelah menyampaikan hasil pertemuan awal kepada M. Arief Setiawan (MAS), Ferry diminta Arief yang mewakili AW untuk menaikkan fee menjadi 5% dari total kenaikan anggaran, atau senilai sekitar Rp7 miliar.


"Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah 'jatah preman,'" ujar Tanak, yang dilansir dari Hukumonline, Jum'at (7/11/2025).


Seluruh Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR PKPP dan Sekretaris Dinas kemudian menyepakati besaran fee 5% tersebut. Kesepakatan ini dilaporkan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP Riau menggunakan bahasa kode "7 batang."


Dari kesepakatan Rp7 miliar, KPK menemukan setidaknya terjadi tiga kali setoran dengan total mencapai Rp4,05 miliar selama periode Juni hingga November 2025. Rincian tiga kali setoran tersebut antara lain:


Pada Juni 2025, terkumpul Rp1,6 miliar. Dana sejumlah Rp1 miliar dialirkan kepada Abdul Wahid melalui Dani M. Nursalam (DAN). Sisanya, Rp600 juta, diberikan kepada kerabat Arief.


Kemudian Agustus 2025, terkumpul Rp1,2 miliar, didistribusikan untuk driver Arief, proposal kegiatan perangkat daerah, dan disimpan oleh Ferry. Lalu November 2025, terkumpul Rp1,25 miliar. Dana sejumlah Rp450 juta dialirkan untuk AW melalui Arief, dan Rp800 juta diduga diberikan langsung kepada Abdul Wahid.


Pada pemberian ketiga ini, Senin (3 November 2025), Tim KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Tim mengamankan Arief, Ferry, dan lima Kepala UPT Jalan dan Jembatan, serta barang bukti berupa uang tunai senilai Rp800 juta.


AW kemudian diamankan di salah satu kafe di Riau. Penggeledahan di rumah AW di Jakarta Selatan mengamankan uang pecahan asing: 9.000 pound sterling dan 3.000 USD, yang setara dengan Rp800 juta.


"Total yang diamankan dari rangkaian kegiatan tangkap tangan ini senilai Rp1,6 miliar," terang Tanak.


Penggunaan Pasal Pemerasan


Penetapan tersangka ini menjadi perhatian karena KPK kembali menggunakan Pasal Pemerasan (Pasal 12 huruf e UU Tipikor) dalam kasus yang bermula dari OTT. Sebelumnya, KPK cenderung menggunakan pasal suap.


Ketua KPK, Setyo Budiyanto, pada Jumat (22/8) lalu, menjelaskan bahwa pimpinan dan penyidik sepakat menggunakan Pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.


Pasal 12 huruf e UU Tipikor menyatakan, Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;


Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengakui penggunaan pasal pemerasan pada OTT jarang dilakukan. Asep menjelaskan, pasal pemerasan sesuai karena dalam praktiknya, oknum penyelenggara negara mempersulit pemohon yang sudah melengkapi persyaratan, semata-mata karena menginginkan sejumlah uang. (*) 

×
Berita Terbaru Update